Minggu, 04 September 2016

Di Balik Senja Nila

25 menit berlalu tapi aku masih berdiri di hadapan cermin di muka lemariku. Mematutkan diriku dengan segala upaya. Walaupun aku tahu semua itu hanyalah sia-sia.  “Siapa gadis dengan kemeja biru dan celana hitam yang berdiri tepat di hadapanku?” Hanya sebongkah jiwa yang tak bernilai. Mungkin ranting di simpang jalan di samping warung soto pun jauh lebih  indah darinya. “Sudahlah tak perlu bersolek” pekikku dalam hati.
Masih tetap ku tatap cermin yang memantulkan bayanganku dengan sempurna. Ku tatap lebih dalam pada diri yang penuh kepura-puraan ini. Aku mulai tersenyum sinis menertawai diriku sendiri. Hahaha! Baik? Seperti ini sosok yang mereka bilang baik? Hah! Hanya karena aku selalu diam mereka menganggapku baik? Atau memang caraku yang salah? Memprotes sesuatu dengan diam, menolak sesuatu dengan diam dan ketika marahpun aku memilih diam. Aku diam bukan karena aku baik! Aku hanya berusaha agar tidak ada yang tersakiti. Aku diam karena aku tak ingin menambah masalah ketika aku bicara. Aku diam hanya tak mau pusing menyusun kata-kata yang baik untuk mengungkapkan perasaanku. Sekali lagi bukan karena aku baik! Hanya saja aku selalu berusaha menjadi lebih baik. Aku bisa saja menjadi lebih jahat. Tapi aku tak begitu ahli menjadi seorang penjahat, karena akan lebih menyedihkan ketika aku hanya akan menjadi seorang penjahat amatir yang penuh dengan rasa takut.
Denting jam yang menggantung di dinding kamarku terdengar lebih nyaring, perlahan membangunkanku dari lamunan. Sepintas ku lihat garis hitam di bawah mataku. Aku pikir mungkin aku lelah. Atau memang terlalu lelah tapi aku tak harus merasa lelah. Seharusnya aku menghapus kata “lelah” dari hidupku. Aku tak punya banyak waktu untuk berleha-leha. Masih terlalu banyak yang harus ku pikirkan dan terlalu banyak yang harus ku selesaikan. Aku menyemematkan pita kecil di sisi kanan rambut panjangku yang sengaja ku urai dan  berlalu dari muka cermin.
Sepertinya pagi ini terlalu dingin. Mungkin secangkir capucino bisa sedikit menghangatkanku. Meskipun tak bisa memeluk hatiku, setidaknya aku merasa lebih baik dibanding sebelumnya ketika ku lihat beberapa pos it menempel dilayar komputerku. Membuat kepalaku tiba-tiba terasa pening melihat tumpukan laporan yang harus segera ku selesaikan.
Ternyata hidup sekonyol ini! Belasan tahun dituntut menimba ilmu hanya untuk berhadapan dengan layar bertabel setiap hari. Disibukkan dengan tumpukan kertas yang tiada habisnya. Bangun pagi buta, berangkat pagi pulang malam hanya demi suatu nilai yang terkadang justru membuat isi kepala semakin semrawut. Tapi setidaknya aku masih beruntung dibanding mereka di luar sana yang masih mencari lahan untuk menumpahkan ilmu yang sejak lama mereka cari atau sekedar memburu rupiah. 
Waktu berjalan begitu cepat atau memang aku yang terlalu sibuk dengan tumpukan kertas-kertas ini, hingga tak menyadari kini ufuk barat telah berubah menjadi jingga. Begitu indahnya lukisan tuhan sore ini. Aku mendekat ke jendela di sebelah mejaku. Aroma senja dapat ku cium meski terhalang benda bening di hadapanku. “Ma, apa kau ingat dulu kau selalu bilang kalau aku adalah senjamu, yang selalu membuat harimu begitu indah. Dan aku bilang kalau kau adalah langitku”. Aku tak akan pernah ada tanpamu apalagi terlihat indah. Mungkin itu yang membuatku begitu memuja senja. Saat senja aku bisa melihat senyummu yang begitu ku rindu, merasakan dekapanmu melalui hembusan angin dan mengingat semua kenangan indah kita di setiap coretan jingganya.
Terkadang memang aku iri, kau menggantungkan semua bebanmu pada bias mega, sedangkan aku hanya bisa menelannya perlahan. Kau lebih tau hatiku dibanding siapapun, mah. Kau juga mungkin tau apa yang sedang ku rasakan. Bolehkah aku meminjam hatimu, mah? Karena hatiku tak cukup tegar untuk semua ini. Meskipun kata-katamu tak pernah ku lupa. Saat aku mengeluh karena harus selalu pulang lebih lama untuk belajar tambahan, ketika untuk pertama kalinya aku ditunjuk sekolahku untuk mengikuti olimpiade fisika atau saat aku mengeluh harus mengikhlaskan lelakimu membagi kasih sayangnya dan kau bilang “hanya kesatria hebat yang selalu diberi misi yang luar biasa dan kita adalah salah satu diantaranya”. Sekarang aku mengerti, tapi ternyata aku tak sehebat itu mah. Aku tak sekuat itu! Aku terlalu lemah tapi situasi yang membuatku harus selalu berusaha kuat, berusaha tegar dan tetap berdiri. Aku pernah janji untuk tidak mengeluh bukan? Tapi janji itu begitu sering ku ingkari. Kau masih ingat bunga liar yang dulu begitu senang aku memetik dan meniupnya? Dandelion! Bahkan aku tak bisa seikhlas ia mah. Ketika hujan membasahi seluruh serpihannya  membuatnya tak mampu berkelana diangkasa tapi ia tak pernah mengeluh. Ia sadar bahwa tuhan tidak hanya menciptakan angin baginya tetapi juga hujan. Dan hujan adalah bagian dari hidupnya. 
Mungkin kau kecewa melihat putri kecilmu tumbuh menjadi sosok yang rapuh. Tapi aku bisa apa  tanpamu? Tak ada yang mengulurkan tangan saat aku terjatuh, tak ada sandaran saat aku mulai lelah, tak ada tempat mengadu saat aku ingin menyerah dengan semua yang ada di hadapanku. Mah, apa kau juga merasakan perih yang kurasakan? Apa kau juga mengingat jeritanku ketika harus melepasmu? Apa kau mengingat senyum terakhirku? Apa kau mengingat candaan terakhir kita? Apa kau juga berusaha menembus bagian yang terputus ini? Apa kau juga berusaha berbicara kepadaku sama seperti apa yang aku lakukan?
Senja mulai ditelan malam mah, kau juga selalu bilang besok dia pasti kembali meskipun tidak dengan corak yang sama tetapi selalu memberi keindahan yang sama. Tapi apa aku juga demikian bagimu? Aku rasa tidak! Aku mungkin senja, tapi aku hanya sebagai penyongsong gelap.
“kriiing kriiing” panggilan dari telepon membuatku menjauhi jendela yang masih memperlihatkan langit dengan sisa-sisa jingga yang akan segera menghilang. Suara diseberang sana, dengan nada memerintah meminta beberapa laporan yang belum sempat aku selesaikan. Aku membanting tubuhku di kursi dan kembali menatap layar komputer yang kurasa mulai membosankan. “Lagi-lagi aku harus pulang malam!” gerutuku.
Aku meraih ponselku membuka sebuah message dari Die, laki-laki yang saat ini sedang menguasai hatiku. Meskipun hanya sebuah pesan biasa tanpa emoticon love, kiss ataupun big hug tapi mampu memetabolisme semua rasa kesal, bosan dan lelah menjadi semangat 45. Aku mulai seperti orang gila, tersenyum sendiri memandangi ponselku. Seperti inikah orang yang sedang jatuh cinta? Sebenarnya ini bukan kali pertama aku jatuh cinta, tapi aku merasakan sesuatu yang berbeda kali ini. Meskipun beberapa mata menuntut alasan dari semua ini padaku. “Mengapa? mengapa aku bisa mencintainya?” adalah sebuah pertanyaan yang sampai saat inipun selalu terlintas di kepalaku. Entahlah! Semua hanya tentang rasa. Bukan apa yang terlihat dan apa yang terdengar, meskipun aku memulai semuanya dengan apa yang telah aku dengar. Bukankah seorang pecinta sepertiku lebih mengutamakan apa yang dirasakan ketimbang logikanya? Lalu untuk apa sebuah alasan ketika mencintai seseorang?
Mereka bilang saat jatuh cinta dunia serasa milik berdua. Mungkin benar bagi mereka yang saling jatuh cinta. Lalu bagaimana bagi sebagian dari mereka yang jatuh cinta namun bertepuk sebelah tangan? Bukankah itu hal yang menyakitkan? Bagaimana denganku? Akupun tak tahu yang jelas aku bahagia mencintainya.
Ku lihat jam yang melingkar ditangan kiriku dan mulai mempercepat menyelesaikan semua pekerjaanku agar aku bisa secepatnya membaringkan tubuhku yang terasa sangat lelah, bisa segera melihat senyum adik-adikku dan  bisa segera mendengar suara Die yang menjadi penawar setiap lelahku. Terkesan berlebihan tapi itulah yang kurasakan.
Aku berdiri menunggu angkutan umum di simpang 3 di depan kantorku. Ku lihat sepanjang ruas jalan pakuwon begitu banyak wajah-wajah  yang sedang menunggu dan sedang di tunggu. Aku bertanya pada diriku sendiri. “Siapa yang selama ini ku tunggu? Siapa yang selama ini menungguku?“ Sepanjang perjalanan di dalam angkutan umum aku memikirkannya. Namun lagi-lagi aku tak punya jawaban atas pertanyaanku.  Tetapi aku sadar bahwa aku sedang menunggu. Lantas siapa yang sedang ku tunggu? Entahlah siapapun dia. Apa enaknya menunggu? Tidak ada. Membosankan? Tidak juga. Sampai kapan? Tidak tahu, karena aku tak mampu mengukur waktu. Lalu kenapa tidak berhenti untuk menunggu? Tidak bisa, ini seperti menyanduku. Terkadang menyakitkan tapi tak bisa kuhentikan. Lalu bagaimana jika dia yang sedang ditunggu tidak menyadarinya? Sudahlah aku tak ingin memikirkannya. Aku hanya ingin segera sampai di rumah. Tapi berjalan di jalanan berbatu dengan hils 9cm bukanlah hal yang mudah. Ingin sekali aku melepasnya dan berjalan telanjang kaki pasti akan lebih baik. Tapi jalanan ini terlalu ramai, malu sekali rasanya jika dilihat orang-orang. Aku sebenarnya tak suka menggunakan sepatu dengan hak yang tinggi tapi pekerjaanku yang mengharuskannya.
Dan akhirnya kucapai kemenanganku, halaman rumah yang terlihat seperti gerbang istana berada di depan mataku.

Aku duduk di lantai menyandarkan tubuhku ke ranjang sambil meluruskan kaki yang terasa begitu pegal. Lelahku tercermin pada wajah kusam dengan sisa-sisa makeup tadi pagi. Aku hanya terdiam melepas lelah hingga gelap mulai tak teraba. Tiba-tiba terbuka lagi setiap kenangan bersama mama. Lembar demi lembar kenangan ku nikmati meskipun terkadang terasa begitu menyakitkan. Kini malam terasa berkabut, bisikan angin mulai merintih mendobrak hatiku yang mulai rancu. Aku teriak dalam bungkam. Hanya air mata yang menggambarkan remuknya batinku. “Kenapa selalu begini? Bukankah aku telah lama menata hariku tanpa mama? Tapi bayangan mama tak pernah lepas dari kepalaku”. Aku menarik nafas agak panjang dan memutuskan untuk mencuci badan agar aku merasa lebih rileks.
Hening mulai menguasai malam tapi mataku masih enggan terpejam. Aku mencoba memutar beberapa rekaman suara yang telah Die kirimkan sebagai pengantar tidur. Suaranya! Suara yang selalu ku rindukan. Apa aku benar-benar mencintainya? Berulang kali bibirku berkata kalau ini bukan cinta tapi aku tak pernah menang berperang melawan hatiku. Yah aku memang begitu mencintainya bahkan lebih dalam dari sebelumnya. Ma, jika aku adalah senjamu mungkin dia adalah senjaku. Bagiku dia tak perlu memiliki banyak warna seperti pelangi untuk menjadi indah. Cukup jingga yang dia miliki dia telah menjadi yang terindah dimataku. Kau pun tau itu bukan mah? Bahwa aku begitu menginginkannya meskipun lagi-lagi ku ingkari pernyataanku untuk tidak berharap lebih. Dan tak bisa kupungkiri rasa takut pun selalu menghantuiku. Rasa takut akan kehilangan. Lucu! Bagaimana bisa aku takut kehilangan sementara aku tak pernah memilikinya? Aku pun tak mengerti dengan semua perasaan yang dia hadirkan. Menyesal? Tidak sama sekali. Kalaupun nantinya akan menyakitkan, aku tak akan menyesalinya karena aku tak mampu menolaknya ketika dia datang menawarkan sejuta keindahannya. Kecewa jika dia berlalu? Mungkin saja, tapi seperti yang pernah mama bilang “ tidak akan ada kekecewaan tanpa harapan, tidak akan ada hati yang patah tanpa seijin pemiliknya pula” . Jika aku akan kecewa dikemudian hari mungkin karena aku yang terlalu berharap padanya dan jika nantinya hatiku akan patah itu karena aku sendiri telah mengijinkan dia mematahkannya. Biarlah semuanya menjadi bagian dari cerita hidupku di balik jingganya senja.

--- THE END ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar