Jumat, 12 Agustus 2016

Senja Nila Membiru


Sore ini aku begitu iri pada langit. Lembayung memeluknya erat, gumpalan awan putih pun menambah indahnya lukisan tuhan kali ini. Sedangkan aku, hanya terduduk sendiri di bawah pohon tisuk yang menjadi tempat favoritku. Entah kenapa aku begitu senang menatap langit senja. Senja sepertinya begitu romantis. Saat cahaya keemasannya menyeruak diufuk barat dan saat itu juga kurasakan penghujung hariku begitu indah. Meskipun tak selalu.
Ku arahkan pandanganku ke sekelilingku. Kebun teh terhampar luas tumbuh begitu subur menghijau di bukit dan di lembah. Dibatasi beberapa pohon pinus yang berjajar rapi. Ilalang-ilalang bergoyang diterpa angin. Burung-burungpun bernyanyi seperti tak mau kalah dengan ilalang dan beberapa pohon tisuk yang juga tumbuh di tepi danau. Suasananya tak ada yang berubah. Masih sama seperti dulu Le. Saat kita selalu menghabiskan waktu bersama, tanpa tau apa itu perbedaan. Saat kita merasa nyaman tanpa ada perasaan yang tersakiti. Saat semuanya baik-baik saja tanpa ada perasaan-perasaan aneh yang akupun tak bisa mendeskripsikannya. Rasa ini entah apa namanya.
Tiba-tiba aku teringat ukiran 8 tahun silam. Aku Seperti ayam yang sedang mencari makan. Mencakar-cakar batang pohon tisuk yang mulai tertutupi tanaman benalu. Betapa senangnya ketika ku dapati namamu dan namaku masih terukir. “ Nila & Ale” Tapi apalah arti sebuah ukiran nama jika kita memang tak akan pernah bisa menyatu.
Aku menatap genangan air yang luas dihadapanku yang mulai nampak orange karena pantulan langit senja. “Aaaarrrrrhhhhh” aku teriak meluapkan kemelut di hatiku. Ku lempar batu kecil di sampingku dengan sekuat tenaga. Berharap semua beban di hatiku pun ikut tenggelam di tarik gaya grafitasi sampai ke dasar danau  bersama batu kecil itu. Dan tak akan pernah kembali ke permukaan.
Ku arahkan kembali pandanganku ke ufuk barat. Semakin lama semakin aku larut terbuai mega diangkasa. Membuatku enggan melepas senja meskipun aku tahu malam pasti akan datang. Seperti halnya waktu. Aku seperti enggan melepas masa kita dulu. Masa dimana kita sering mandi di sungai, mengejar layang-layang dan bermain kelereng. Bahkan aku masih hapal bau matahari yang menempel di tubuhmu saat kita mengejar layang-layang. Atau saat kita  mencuri mangga pak Kosim. Apa kamu masih mengingatnya? Saat itu kita hendak mengejar layang-layang, tapi mata sipitmu tertuju pada buah mangga pak Kosim yang menggelantung mulai menguning. Kau tau kau bukan pemanjat yang hebat, dibanding aku. Lalu kau meminta ku untuk memanjatnya. Aku tak punya keberanian, karena aku tahu pohon mangga itu milik pak Kosim yang berkumis tebal. Tapi kau berhasil membujukku sampai akhirnya aku benar-benar memetiknya. Aku memetik dua buah mangga yang kurasa sudah matang. Tapi saat itu kamu bilang  menukar sebuah dosa hanya dengan 2 buah mangga itu hal yang bodoh. Kenapa tidak sekantung? Dua atau sekantung dosanya sama saja dan kita bisa makan buah mangga lebih banyak. Aku pikir para korupsi juga menggunakan pila pikir yang sama sepertimu Le. Menganggap memakan milyaran uang rakyat sama dosanya dengan mencuri sandal di masjid ketika solat jumat. Entahlah tapi sejak dulu pola pikirmu memang tak pernah bisa ku selami. Dan bodohnya aku selalu mengikuti permintaanmu. Ya, memang selalu seperti itu bukan? Aku dan kamu ibarat  jari manis dan jari kelingking. Ketika jari kelingking bergerak maka jari manispun ikut bergerak. Tetapi tidak sebaliknya. Itulah kamu dan aku.
  Sampai kapan aku akan tetap seperti ini? Aku terlalu menikmati setiap kenangan kita meskipun aku tahu semua tak akan pernah bisa terulang kembali. Semuanya sudah berbeda sudah bukan seperti dulu. Kita sudah punya jalan hidup masing-masing. Tapi aku? Aku masih hidup di masa lalu dan kau meninggalkanku dengan semua kenangan kita. Andai kamu tau apa yang aku rasakan Le? Yang aku sendiri tidak pernah tau pasti apa sebenarnya ini? Tapi kau akan tetap menjadi teman baikku. Karena aku yakin aku bukanlah tulang rusukmu. Rasa ini tak akan ku buang tak juga ku simpan. Aku hanya akan membiarkannya. Hingga rasa itu mungkin hilang seiring berjalannya waktu.
Adzan Magrib membangunkanku dari ingatan masa laluku. Jangkrik-jangkrik sudah mulai bercerita tentang harinya dari balik semak-semak, burung-burung kembali ke sarangnya dengan sejuta kisah. Dan aku berlalu meninggalkan senja yang menghilang ditepi malam. Walaupun kali ini senjaku membiru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar