Kamis, 04 Agustus 2016

Dandelion senja


Die, malaikatku



Tuhan menjawab beberapa doaku meskipun dosa yang ku timbun semakin menggunung. Aku pikir aku adalah orang yang beruntung, lagi-lagi. Tiba-tiba tuhan mengirimnya, dari mana dia? Utara? Selatan? Timur? Barat? Atau mungkin Tenggara? Entahlah darimanapun dia tapi aku menyebutnya malaikat. Suaranya begitu indah, menenangkan. Wujudnya aku tak pernah tau. Sepintas mungkin terlihat. Dia bersayap atau tidak, hitam atau putih, besar atau kecil itu tak penting bahkan baik atau burukpun dia tetap malaikat bagiku. Kehadirannya mungkin lebih kusadari dibanding ke dua malaikat yang selalu menemaniku sejak masa balighku. Dia datang ketika aku benar-benar rapuh dan terpuruk. Namanya Die. Aku mengenalnya tanpa sengaja di salah satu akun sosial mediaku dan kami semakin dekat karena spasi meskipun tanpa jabatan tangan atau saling tatap muka. Entah apa yang membuatku begitu nyaman dengannya padahal sebelumnya tak pernah seperti ini. Ini bukan diriku! Bukan aku! Bahkan aku tak percaya! Tapi inilah adanya. Aku benar-benar tak mampu menguasai diriku sendiri.  
Die berhasil membuatku melanggar aturan yang ku buat sendiri untuk tidak lagi membuka pintu hatiku selain kepada seseorang yang datang bertemu waliku untuk menghalalkanku. Aku seperti sudah tak memperdulikan hal itu saat ini.
Malam Kamis, mungkin terlalu horor menceritakan semua yang ku alami pada Die lewat udara, dengan ketikan di tochscreen layar ponselku. Tapi tak lebih horor dari seribu malam sebelumnya ketika aku membungkus kotak hitam dengan beberapa perekat diatasnya dan menguburnya dalam-dalam. Aku menyebut kotak hitam itu masa lalu. Meskipun tak bisa ku pungkiri kotak hitam itu sering kali melintasi pusat sistem syarafku membuatku tiba-tiba tersungkur meskipun jalan yang kulalui tidaklah terjal. Sebisa mungkin aku berusaha untuk melupakannya, tapi malam ini kotak hitam yang sudah lama tertimbun di otakku kembali ku gali. Entah energi apa yang ku serap dari Die yang membuatku tiba-tiba membuka semua perekat yang sengaja ku balut pada kotak hitam itu dan secara otomatis otak besarku memutar kembali cuplikan-cuplikan yang cukup menyakitkan batinku. Aku tak habis pikir, kotak hitam itu selama ini tak pernah ku ungkap pada siapapun bahkan orang terdekatku sekalipun. Bagaimana bisa ku hidangkan padanya? pada Die yang belum pernah ku jumpai? Tapi Die menyambutnya dengan senyum yang begitu manis padahal dia tau itu adalah hal yang teramat pahit. Die menghempaskan semua bagian dari yang kusebut masa lalu itu jauh dari hidupku. Sakit! Tentu. Mungkin air matapun tak kan mampu menjelaskannya. Maaf mungkin aku terlalu cengeng tapi aku janji akan lebih kuat lagi.
Aku hanyalah dandelion, makhluk rapuh yang selalu berpura-pura begitu kuat. Aku tak secantik mawar, seharum melati apalagi semahal anggrek tak akan ada yang mau melirikku, kecuali Die. Die seperti angin bagiku, bagi dandelion. Die membelaiku lembut dan membawaku melintasi angkasa. Kau tau seperti apa ketika dandelion tertiup angin? Dan dia membuatku tumbuh kembali ditempat dia menepikanku. Die menyelamatkan hidupku. Aku benar-benar merasa lahir kembali, tanpa beban yang kurasa sangat berat di setiap langkahku sebelumnya. Nafasku terasa lebih ringan. Aku bebas. Aku bebas dari masa lalu yang menjadi mimpi buruk disetiap siang dan malamku yang seharusnya tak pernah terjadi. Meskipun tidak benar-benar hilang dari hidupku tapi setidaknya kotak hitam itu tidak lagi merongrongku seperti dulu.
Entah bagaimana ceritanya! Aku bicara dia mendengar, dia bicara aku menangis, lalu kami tertawa. Konyol, yah memang konyol. Kekonyolan yang membuatku lupa akan gelap malam. Benar-benar malam yang membingungkan! Mungkin karena tanpa cahaya bulan malam ini. Tapi hadirnya Die seperti cukup menggantikannya, meskipun hanya di sosial media. Die membuat hari yang ku lalui menjadi semakin bermakna. Lebih terang walaupun samar. Hitam, putih, abu-abu setidaknya tidak lagi hanya hitam karena aku tak pernah tau apa yang akan terjadi setelah ini. Meskipun Die bilang kalau kita bisa membentuk masa depan, tapi hasil akhir adalah rahasia sang Maha Kuasa. Bagaimana aku membalas kebaikan Die? Aku tak kaya ilmu, apalagi harta. Tapi aku akan berusaha melakukan apapun yang Die minta sebagai balas budiku padanya. Selama itu tidak membuat malaikat Atid menambah catatanku dengan tinta merahnya.
Tuhan aku tak akan meminta lebih karena aku tahu kau tidak menciptakan Die seperti Rakib dan Atid yang selalu bersamaku hingga ajal menjemputku. Jika nanti Die memutuskan pergi dariku aku tak akan menahannya karena setiap yang datang kau ciptakan untuk pergi hanya saja waktu yang merahasiakannya. Tugas ku hanya menjaga dan menikmati setiap rasa yang dia hadirkan sebelum akhirnya waktu menjemputnya. Aku sangat bersyukur Engkau telah mengirim Die, karena dia benar-benar meringankan beban di otakku membuatku bisa tertawa lebih lepas dan menangis lebih sendu. Namun dibalik semua itu tak bisa ku elakkan bahwa akupun berharap dia tetap tinggal menemani setiap sisa hariku. Tapi akupun sadar sosok malaikat tak pernah nyata, begitupun Die yang ku anggap malaikatku. Tapi sampai detik ini aku bahagia mengenalnya meskipun belum menjadi nyata.
 

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar