Jumat, 05 Agustus 2016

Bocah di Sudut Pasar

Aku sekarang duduk di bangku kelas IX SMP tapi Ayah masih juga belum menambah uang sakuku. Kadang aku kesal, ketika melihat teman-temanku membeli aksesoris cantik yang harganya cukup mahal. Aku kesal karena uang sakuku tak cukup untuk membeli aksesoris yang sejenis. Satu-satunya yang bisa aku lakukan hanya menghela napas menahan kesal.
Gerutuanku ini membuatku merasa gerah padahal hari ini tidak terlalu terik. Ayah tidak mengerti perasaanku. Ibu pun demikian. Kulangkahkan kakiku meninggalkan gerbang sekolah dan teman-temanku yang sedang asyik memilah dan memilih aksesoris di sebuah toko aksesoris di depan sekolah. Kenapa toko itu harus berada di depan sekolahku? Hah! Aku semakin kesal! Aku sadar jika aku bergabung dengan mereka, menyiksa mata dan batin ku melihat aksesoris mahal yang tidak bisa aku beli, maka aku akan membutuhkan hati yang baru karena yang satu ini akan hancur, tentunya. Bisa jadi aku iri pada mereka. Tapi apa yang harus aku lakukan demi menambah uang sakuku? Baiklah! Aku berniat merajuk ketika sampai di rumah nanti agar Ayah menambah uang sakuku.
Langkah demi langkah kutiti di jalan yang lebarnya tak seberapa ini. Sampai akhirnya Nida dan Fatma, teman sekelasku, dengan gagahnya lewat di sampingku mengendarai sepeda motor. Lagi-lagi, aku merasa jengkel dengan hidupku. Kenapa hanya aku yang harus berjalan kaki ke sekolah dengan jarak yang cukup jauh? Sedangkan anak lain seusiaku sudah diijinkan dan diberikan sepeda motornya sendiri? Aku melewati jalan yang melintang sambil menggerutu seperti ibu-ibu yang baru saja pulang dari pasar saat harga sembako sedang melambung tinggi. Aku terlalu sibuk membenci hidupku sampai aku hampir lupa bahwa aku diberikan tanggung jawab dari kelompokku untuk membeli beberapa kebutuhan untuk praktik Biologi besok. Aku mengurungkan niatku untuk langsung pulang ke rumah.
Di persimpangan jalan, aku berbelok ke arah pasar. Sebenarnya aku tidak terlalu suka pergi ke pasar. Terlalu ramai! Tapi mau bagaimana lagi? Matahari sudah menikuk menandakan siang akan berganti sore tapi pasar ini masih ramai dilancongi para pahlawan rumah tangga dengan berbagai kostum. Mulai kostum ala istri ulama sampai kostum ala istri pemain bola. Aku baru saja memasuki halaman depan pasar tapi di pikiranku sudah terpenuhi bisikan-bisikan jahat untuk mengurungi niatku. Beberapa sepeda motor terparkir rapi memenuhi halaman depan pasar yang difungsikan sebagai lahan parkir. Aku juga melihat beberapa petugas parkir yang wajahnya tak asing bagiku. Dari jauh, kulihat seorang bocah kecil dengan kaos biru dan celana merahnya berdiri bersandar di dinding sebuah toko sembako, di sudut pasar. “Seusia adikku”, kataku dalam hati. Dia menatap kosong ke bawah, pada sepasang sendal lusuh yang dikenakannya. Aku pikir tidak ada yang salah dengan sendalnya. “Hanya lusuh, masih bisa digunakan”, sekali lagi aku berkata dalam hati. Sesekali ia menggerakkan kakinya, menggesek-gesekkan sendalnya ke lantai. Aku melangkah lebih dekat. Kulihat seorang ibu melintas di hadapannya. Mendadak, bocah itu meraih plastik belanjaan yang sejak tadi dijinjing oleh ibu tersebut. Terkejut, seketika ibu tersebut menarik plastik belanjaannya dan menatap sinis ke arah bocah berkaos biru itu. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Mengapa bocah itu menarik plastik belanjaan itu?
Mengikuti rasa ingin tahuku, aku mendekat.  “Im, sini Im!”, suara seorang ibu paruh baya terdengar dari dalam toko memanggilnya. Seketika wajah bocah itu menjadi sumringah. Dia berlari menghampiri suara yang memanggilnya dengan begitu semangat. Tak lama, ia keluar dengan menjinjing beberapa barang belanjaan. Dia berjalan agak pontang-panting, sepertinya barang yang dibawanya cukup berat. Sejenak aku ingin membantunya, tapi pada akhirnya aku hanya memandanginya saja. Dia berhenti sejenak, melepaskan jinjingan di tangannya. Kulihat nafasnya mulai terengah-engah. Dia kembali menjinjing bawaannya menuju sebuah angkutan umum dengan setengah berlari. Lagi-lagi, aku hanya menatapnya. Ibu paruh baya tadi memberinya beberapa lembar uang seribuan. Senyum bocah itu kembali merekah. Nafasnya masih terengah-engah. Ia seperti mendapatkan kembali energinya yang habis dikurasnya beberapa menit yang lalu. Ia kembali berdiri di samping toko di sudut pasar itu sambil berusaha mengantongi uang yang diterimanya. Tangan mungil itu memijat-mijat tangan lainnya bergantian. Kurasa dia merasakan tangannya mati rasa karena barang yang dibawanya tadi sepertinya cukup berat. Setengah dari berat badannya, kurasa.
“Im, tolong kesini Im!”, kali ini si pemilik toko yang memintanya membantu membereskan toko. Bocah itu memanggul barang-barang yang sebelumnya diletakkan di luar ke dalam toko. Cukup banyak barang yang ia angkut tapi tetap terlihat begitu semangat. Kali ini, dia menerima upah yang lebih banyak dari sebelumnya dan pergi meninggalkan toko dengan wajah berseri-seri. Aku memandanginya sampai dia benar-benar hilang dari penglihatanku. Setelah ia tak lagi terlihat, aku tersadar dari lamunanku dan melihat sebagian toko di pasar itu sudah mulai ditutup oleh pemiliknya. Dan aku belum mendapatkan satupun barang yang diperlukan kelompokku! Kebetulan toko di sudut pasar itu, tempat bocah kecil dengan panggilan “Im”, yang aku tidak tahu siapa nama aslinya, mungkin Boim, Toim atau Naim, masih belum tutup. Aku segera mencari semua yang kubutuhkan. Saat aku hendak membayar semua belanjaanku, bocah itu terlintas di pikiranku. Demi memuaskan rasa ingin tahuku, aku bertanya pada si pemilik toko. Betapa terkejutnya aku mendapat jawaban dari si pemilik toko. Mataku mulai berkaca-kaca tapi aku mencoba menahan agar titik-titik kecil air mata tidak meleleh dari sudut mataku. Akan sangat memalukan jika aku harus menangis di tempat umum seperti ini. Aku meninggalkan pasar yang mulai sepi. Parkiran yang tadi kulihat hampir penuh, sekarang sudah bisa kuhitung jari.
Hari semakin sore dan jarak yang harus kutempuh masih cukup jauh. Sepanjang perjalanan, aku memikirkan bocah tadi. Betapa hebatnya dia. Bocah kecil yang tangguh. Setiap hari, sepulang sekolahnya ia berdiri disamping toko di sudut pasar itu, tanpa sedikit pun rasa malu menjadi kuli angkut di usianya yang masih sangat belia agar bisa mencukupi semua keperluan sekolahnya. Dia hanya hidup berdua dengan neneknya yang sudah tidak terlalu bugar. Aku mengingat semua yang telah kupikirkan sepulang sekolah tadi. Aku jauh lebih beruntung dibandingkan bocah itu tapi aku masih saja mengeluh! “Tidak tahu diri!”, hinaku pada diriku sendiri. Kini air mata benar-benar meleleh di pipiku. Beberapa orang melintasiku, memandangiku, tapi aku tidak peduli. Aku benar-benar menyesali perbuatanku. Tidak seharusnya aku membenci hidupku saat masih ada orang lain di luar sana yang hidupnya lebih sulit dari hidupku. Seorang anak kecil di sudut pasar telah membuka mata dan hatiku. Ayah, Ibu, maafkan aku yang terlalu banyak menuntut. Tuhan, maafkan aku karena aku kurang bersyukur atas apa yang telah Kau berikan untukku.
Aku mengingat-ingat jawaban Ibuku, yang sebelum hari ini tidak begitu aku pedulikan. Suatu saat aku pernah bertanya, ”Bu, mengapa Tuhan menciptakan Atas dan Bawah?”
“agar manusia selalu bersyukur saat melihat ke bawah dan berusaha lebih keras saat melihat ke atas”, jawabnya.

--- THE END ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar