Kamis, 04 Agustus 2016

Kado Untuk Eno

Adzan Subuh belum berkumandang tapi Abah sepertinya tak bisa membiarkan cucunya tidur lebih lama. Padahal aku baru saja tidur satu jam yang lalu karena harus mengerjakan tugas kuliah Medina. Mataku masih sulit terbuka tapi semakin lama aku bangun semakin panas telingaku mendengar ketukan keras di pintu kamarku. Sedikit tidak rela, aku beranjak dari tempat tidur. Tidak sengaja kulihat kalender kecil di atas meja yang sejak 7 bulan lalu mengingatkanku hari-hari penting di hidupku. Lingkaran tinta merah pada angka 3 di sebuah kolom penuh angka yang di atasnya bertuliskan “Agustus”. “Lima hari lagi..”, gumamku. Aku masih memikirkan apa rencanaku, namun lagi-lagi Abah mengetuk pintu kamarku.
“Iyaa Baaaah, aku sudah bangun!”, jawabku. Aku bangun lebih dulu dari ayam-ayamku. Sangat luar biasa.
Aku keluar kamarku dan seperti biasa, aku melihat keluargaku sudah sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Apak sudah berangkat ke pasar, Abah sedang memberi makan ayam-ayam, Umi menyiapkan sarapan dan ketiga Adik laki-lakiku membantu Umi di dapur - lebih tepatnya, mengganggu. Si Bungsu, Arah, belum pulang dari pondok. Dia memang jarang di rumah, dia lebih sering di pondok.
“Oke! Saatnya jadi Ijah di rumah!”, pikirku. Yah, memang selalu begitu. Ketika libur, semua pekerjaan rumah menjadi tanggung jawabku. Umi memang tidak pernah meminta, tapi ini adalah bagian dari rencana hidupku sebelum akhirnya nanti seorang laki-laki menjemputku, menjadikanku makmumnya dan membawaku pergi dari Umi. Melelahkan! Memang. Tapi tidak seberapa dibandingkan dengan yang sudah dilakukan Umi puluhan tahun.
Kasur, hal yang begitu kurindukan hari ini. Kubaringkan tubuh ini yang terlihat semakin menciut - aku memang lebih kurus belakangan ini. Aku kembali teringat pada angka 3 di bulan “Agustus”. Ulang tahun Eno, sahabatku yang kini berada jauh dariku. Ini tahun ke-2 aku tidak bertemu dengannya. Apa yang bisa kuberikan dengan jarak yang cukup jauh ini? Jelas tidak mungkin aku bisa memberikannya kue tart dengan beberapa lilin di atasnya. Kondisinya sangat tidak memungkinkan. Kue itu mungkin akan jadi bubur cokelat saat Eno menerimanya.
Jarum pendek pada jam tepat berada di atas angka empat. Aku sudah rapi, tidak seperti biasanya. Sudah kuduga, pasti ketidak-biasaan ini akan menjadi sebuah pertanyaan besar bagi Umi, Apak, Abah dan keempat adikku. Padahal, aku pasti minta tolong adikku untuk mengantarkan aku ke swalayan dan mereka juga akan tahu kemana tujuanku pada akhirnya. Tapi begitulah keluargaku, aku yakin mereka akan sukses jika menjadi paparazzi.
Di kepalaku sudah terbayang apa saja yang akan aku beli. Eno suka dengan warna biru. Ia juga tergila-gila dengan Doraemon. Tapi jangan harap aku akan memberinya sebuah boneka Doraemon atau sebuah pin, gantungan kunci, gelas, atau apapun yang berhubungan dengan Doraemon! Bukannya aku jahat dan menjadi sahabat yang payah, tapi menurutku semua itu tidak ada gunanya!
Aku mendapatkan apa yang kucari. Sebuah jas hujan, tempat air minum dan tempat sampah berukuran kecil yang jelas semuanya berwarna biru. Memang bukan kado ulang tahun yang diharapkan, tapi aku tahu dia membutuhkannya. Saat ini musim hujan dan aku sangat paham Eno tidak pernah menyimpan jas hujan di bawah jok motornya. Dia juga jarang sekali minum di kantor. Aku ingat dulu dia lebih sering minum di mejaku, mungkin dia bisa lebih banyak minum jika di mejanya ada tempat air minum. Dan tempat sampah? Aku juga ingat di kamar Eno, aku tidak menemukan tempat sampah. Kertas-kertas tidak terpakai berhamburan memenuhi meja belajarnya. Aku tau kita sudah berpisah cukup lama tapi aku yakin dia masih seperti dulu dan aku masih selalu mengingatkannya walau hanya melalui pesan singkat.
Selesai! Semuanya terbungkus rapi dalam satu kardus dengan kertas kado yang juga berwarna biru. Tapi ada satu hal yang menurutku masih kurang. Oh! Aku lupa menuliskan pesanku di kertas ucapan! Kertas ucapan? Terlalu pendek. Bagaimana jika surat? Yah, surat sepertinya lebih baik. Aku bisa bercerita panjang lebar, walaupun aku tahu Eno tidak terlalu suka membaca seperti aku.
Aku mencakar-cakar tumpukan buku di mejaku. Aku mencari kertas binder berwarna biru. Aku tak punya satu pun kertas biru, semuanya putih polos. Aku ingat, sepertinya adik bungsuku meniru hobiku saat aku masih duduk di bangku SMP, mengoleksi kertas binder dengan berbagai warna dan motif. Aku pikir aku bisa memintanya. Tunggu, meminta? Sepertinya dia tidak akan dengan senang hati memberikannya, tidak tanpa imbalan yang jauh lebih mahal dari harga kertas itu. Baiklah! Aku akan mengambil kertas itu tanpa sepengetahuannya. Mencuri? Bukan! Hanya menggunakannya lebih dulu, aku akan memberitahukannya setelah aku selesai.
Aku mendapatkan kertasnya. Tapi apa yang harus kutulis? Menanyakan kabar? Dari tulisan-tulisan di media sosialnya, sepertinya Eno baik-baik saja. Setidaknya aku harap begitu. Hanya saja, dia terlihat sedang patah hati mungkin? Baiklah! Aku putuskan untuk menuliskan beberapa kalimat untuk membantu Eno melalui sakitnya patah hati, walaupun sebenarnya aku sendiri tidak begitu beruntung dalam urusan percintaan. Mungkin aku juga akan menambahkan beberapa kata lain yang tidak ada hubungannya dengan percintaan.
Baiklah, kira-kira ini yang akan aku tulis dalam surat itu.




Dear, Sahabat yang kuanggap saudaraku, Eno,
Apa kabar kerang hijau dan es ketan durian? Apa kabar danau yang menjadi tempat favorit kita di Harapan Indah? Apa kabar hamparan rumput hijau di pekarangan bebek kaleyo? Apa kabar Marakas malam minggu ini? Tapi yang lebih penting apa kabar hatimu?  Tak perlu kau menjawab aku sudah tahu jawabannya. Kau memang terlalu pandai menyembunyikan setiap luka dibalik senyummu dan berkata semuanya baik-baik saja. Kamu mungkin bisa mengelabui banyak orang tapi tidak padaku. Aku terlalu hafal setiap lorong hatimu! Jarak memang membuat kita tak lagi seperti dulu, ketika kita selalu menghabiskan waktu bersama. Yah, tiada hari tanpa kita lalui berdua, bukan? Seharian dihadapkan dengan tumpukan kertas dan layar bertabel yang membuat kita selalu hampir gila di setiap akhir bulan, omelan nenek lampir lewat telepon yang kadang membuat kita terlihat seperti dukun yang membaca mantra, komat kamit tanpa arti. Semua masih tersusun rapi di otakku saat kita panen coklat dari para karyawan yang sekedar meminta tolong dibuatkan surat keterangan, mencari sasaran yang bisa kita palak saat istirahat sampai jegat kak Doni dan bu Wiwi agar bisa dapat beberapa kantong jajanan dan gelang imitasi, yang sampai saat ini masih sering ku pakai. Terdengar terlalu jahat, tapi kita memang jahat. Pada diri sendiripun kita jahat, membiarkan hati kita kosong hingga berdebu dan dipenuhi jaring-jaring  tanpa sosok pangeran berkuda putih di dalamnya. Tapi aku pikir sosok pangeran itu tidak terlalu penting ketika masih bersamamu. Aku terlalu bahagia. Aku benar-benar merindukan hal itu, terutama senyummu. Senyum tanpa kepura-puraan.
Lalu sekarang siapa yang menghabiskan malam minggu mengelilingi Marakas? Siapa lawanmu menghabiskan kebab dengan ukuran XL? Siapa yang menemanimu mengantri di gerobak Pak Le bakso atau berdesak-desakan di warteg embak  Desi agar bisa menikmati makan siang dengan menu sayur bening dengan ikan asin balado yang rasanya begitu nikmat? Semoga dia lebih menyenangkan dariku karena yang paling penting, kamu bahagia. Aku hampir lupa surat ini tadinya untuk menulis ucapan dan permohonanku di usiamu yang semakin tua. Selamat hari lahir teman terbaikku. Semoga semua hal terbaik selalu bersamamu, semoga bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dan semoga kamu bisa mendapatkan apa yang kamu harpkan dan doakan selama ini. Maaf mungkin isi dari kotak yang terbungkus ini bukan seperti apa yang kamu harapkan tapi aku yakin kamu memerlukannya.
Aku memang bukan ahlinya dalam hal percintaan. Tapi satu hal yang aku tahu, rasa sakit itu, patah hati itu, adalah proses. Proses bagi masing-masing pasangan untuk belajar jadi lebih baik. Atau, mungkin malah proses untuk menemukan yang lebih baik. Intinya, beruntunglah orang-orang yang merasakan sakit hati dan bangkit setelahnya, karena artinya mereka sedang dalam proses memperbaiki hidup mereka, lebih cepat dari orang-orang yang tidak sedang sakit hati.
Satu pintaku, kembalikan senyummu yang dulu. Ingatlah dia yang baik untuk yang baik pula. Kamu gadis yang baik, aku yakin akan mendapat calon Imam yang baik pula. Kita hanya perlu menunggu sambil memperbaiki diri. Sudah ya, aku pikir ini terlalu panjang untuk sebuah surat. Aku selalu merindukanmu.
Sahabatmu, penuh cinta,
Nita

Selesai! Kulipat surat ini dan kumasukkan ke dalam amplop yang kubuat sendiri dari kertas yang sama. Yang perlu aku lakukan sekarang adalah meletakkan surat ini dengan rapi. Besok aku akan mengirimnya saat jam istirahat kerja. Semoga bisa sampai tepat waktu seperti perhitunganku. Aku tidak tahu apa Eno mau membaca suratku sampai habis atau tidak, surat ini terlalu panjang. Mungkin dia hanya akan melemparkan surat ini ke meja kerjanya. Aku mengakhiri hari ini dengan berharap, bahwa meskipun surat ini nantinya hanya akan berakhir di dasar tempat sampah tapi isi dan pesannya yang menunjukkan perhatianku berakhir di dasar hati Eno.

                     --- THE END ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar