Jumat, 12 Agustus 2016

Senja Nila Membiru


Sore ini aku begitu iri pada langit. Lembayung memeluknya erat, gumpalan awan putih pun menambah indahnya lukisan tuhan kali ini. Sedangkan aku, hanya terduduk sendiri di bawah pohon tisuk yang menjadi tempat favoritku. Entah kenapa aku begitu senang menatap langit senja. Senja sepertinya begitu romantis. Saat cahaya keemasannya menyeruak diufuk barat dan saat itu juga kurasakan penghujung hariku begitu indah. Meskipun tak selalu.
Ku arahkan pandanganku ke sekelilingku. Kebun teh terhampar luas tumbuh begitu subur menghijau di bukit dan di lembah. Dibatasi beberapa pohon pinus yang berjajar rapi. Ilalang-ilalang bergoyang diterpa angin. Burung-burungpun bernyanyi seperti tak mau kalah dengan ilalang dan beberapa pohon tisuk yang juga tumbuh di tepi danau. Suasananya tak ada yang berubah. Masih sama seperti dulu Le. Saat kita selalu menghabiskan waktu bersama, tanpa tau apa itu perbedaan. Saat kita merasa nyaman tanpa ada perasaan yang tersakiti. Saat semuanya baik-baik saja tanpa ada perasaan-perasaan aneh yang akupun tak bisa mendeskripsikannya. Rasa ini entah apa namanya.
Tiba-tiba aku teringat ukiran 8 tahun silam. Aku Seperti ayam yang sedang mencari makan. Mencakar-cakar batang pohon tisuk yang mulai tertutupi tanaman benalu. Betapa senangnya ketika ku dapati namamu dan namaku masih terukir. “ Nila & Ale” Tapi apalah arti sebuah ukiran nama jika kita memang tak akan pernah bisa menyatu.
Aku menatap genangan air yang luas dihadapanku yang mulai nampak orange karena pantulan langit senja. “Aaaarrrrrhhhhh” aku teriak meluapkan kemelut di hatiku. Ku lempar batu kecil di sampingku dengan sekuat tenaga. Berharap semua beban di hatiku pun ikut tenggelam di tarik gaya grafitasi sampai ke dasar danau  bersama batu kecil itu. Dan tak akan pernah kembali ke permukaan.
Ku arahkan kembali pandanganku ke ufuk barat. Semakin lama semakin aku larut terbuai mega diangkasa. Membuatku enggan melepas senja meskipun aku tahu malam pasti akan datang. Seperti halnya waktu. Aku seperti enggan melepas masa kita dulu. Masa dimana kita sering mandi di sungai, mengejar layang-layang dan bermain kelereng. Bahkan aku masih hapal bau matahari yang menempel di tubuhmu saat kita mengejar layang-layang. Atau saat kita  mencuri mangga pak Kosim. Apa kamu masih mengingatnya? Saat itu kita hendak mengejar layang-layang, tapi mata sipitmu tertuju pada buah mangga pak Kosim yang menggelantung mulai menguning. Kau tau kau bukan pemanjat yang hebat, dibanding aku. Lalu kau meminta ku untuk memanjatnya. Aku tak punya keberanian, karena aku tahu pohon mangga itu milik pak Kosim yang berkumis tebal. Tapi kau berhasil membujukku sampai akhirnya aku benar-benar memetiknya. Aku memetik dua buah mangga yang kurasa sudah matang. Tapi saat itu kamu bilang  menukar sebuah dosa hanya dengan 2 buah mangga itu hal yang bodoh. Kenapa tidak sekantung? Dua atau sekantung dosanya sama saja dan kita bisa makan buah mangga lebih banyak. Aku pikir para korupsi juga menggunakan pila pikir yang sama sepertimu Le. Menganggap memakan milyaran uang rakyat sama dosanya dengan mencuri sandal di masjid ketika solat jumat. Entahlah tapi sejak dulu pola pikirmu memang tak pernah bisa ku selami. Dan bodohnya aku selalu mengikuti permintaanmu. Ya, memang selalu seperti itu bukan? Aku dan kamu ibarat  jari manis dan jari kelingking. Ketika jari kelingking bergerak maka jari manispun ikut bergerak. Tetapi tidak sebaliknya. Itulah kamu dan aku.
  Sampai kapan aku akan tetap seperti ini? Aku terlalu menikmati setiap kenangan kita meskipun aku tahu semua tak akan pernah bisa terulang kembali. Semuanya sudah berbeda sudah bukan seperti dulu. Kita sudah punya jalan hidup masing-masing. Tapi aku? Aku masih hidup di masa lalu dan kau meninggalkanku dengan semua kenangan kita. Andai kamu tau apa yang aku rasakan Le? Yang aku sendiri tidak pernah tau pasti apa sebenarnya ini? Tapi kau akan tetap menjadi teman baikku. Karena aku yakin aku bukanlah tulang rusukmu. Rasa ini tak akan ku buang tak juga ku simpan. Aku hanya akan membiarkannya. Hingga rasa itu mungkin hilang seiring berjalannya waktu.
Adzan Magrib membangunkanku dari ingatan masa laluku. Jangkrik-jangkrik sudah mulai bercerita tentang harinya dari balik semak-semak, burung-burung kembali ke sarangnya dengan sejuta kisah. Dan aku berlalu meninggalkan senja yang menghilang ditepi malam. Walaupun kali ini senjaku membiru.

Jumat, 05 Agustus 2016

Bocah di Sudut Pasar

Aku sekarang duduk di bangku kelas IX SMP tapi Ayah masih juga belum menambah uang sakuku. Kadang aku kesal, ketika melihat teman-temanku membeli aksesoris cantik yang harganya cukup mahal. Aku kesal karena uang sakuku tak cukup untuk membeli aksesoris yang sejenis. Satu-satunya yang bisa aku lakukan hanya menghela napas menahan kesal.
Gerutuanku ini membuatku merasa gerah padahal hari ini tidak terlalu terik. Ayah tidak mengerti perasaanku. Ibu pun demikian. Kulangkahkan kakiku meninggalkan gerbang sekolah dan teman-temanku yang sedang asyik memilah dan memilih aksesoris di sebuah toko aksesoris di depan sekolah. Kenapa toko itu harus berada di depan sekolahku? Hah! Aku semakin kesal! Aku sadar jika aku bergabung dengan mereka, menyiksa mata dan batin ku melihat aksesoris mahal yang tidak bisa aku beli, maka aku akan membutuhkan hati yang baru karena yang satu ini akan hancur, tentunya. Bisa jadi aku iri pada mereka. Tapi apa yang harus aku lakukan demi menambah uang sakuku? Baiklah! Aku berniat merajuk ketika sampai di rumah nanti agar Ayah menambah uang sakuku.
Langkah demi langkah kutiti di jalan yang lebarnya tak seberapa ini. Sampai akhirnya Nida dan Fatma, teman sekelasku, dengan gagahnya lewat di sampingku mengendarai sepeda motor. Lagi-lagi, aku merasa jengkel dengan hidupku. Kenapa hanya aku yang harus berjalan kaki ke sekolah dengan jarak yang cukup jauh? Sedangkan anak lain seusiaku sudah diijinkan dan diberikan sepeda motornya sendiri? Aku melewati jalan yang melintang sambil menggerutu seperti ibu-ibu yang baru saja pulang dari pasar saat harga sembako sedang melambung tinggi. Aku terlalu sibuk membenci hidupku sampai aku hampir lupa bahwa aku diberikan tanggung jawab dari kelompokku untuk membeli beberapa kebutuhan untuk praktik Biologi besok. Aku mengurungkan niatku untuk langsung pulang ke rumah.
Di persimpangan jalan, aku berbelok ke arah pasar. Sebenarnya aku tidak terlalu suka pergi ke pasar. Terlalu ramai! Tapi mau bagaimana lagi? Matahari sudah menikuk menandakan siang akan berganti sore tapi pasar ini masih ramai dilancongi para pahlawan rumah tangga dengan berbagai kostum. Mulai kostum ala istri ulama sampai kostum ala istri pemain bola. Aku baru saja memasuki halaman depan pasar tapi di pikiranku sudah terpenuhi bisikan-bisikan jahat untuk mengurungi niatku. Beberapa sepeda motor terparkir rapi memenuhi halaman depan pasar yang difungsikan sebagai lahan parkir. Aku juga melihat beberapa petugas parkir yang wajahnya tak asing bagiku. Dari jauh, kulihat seorang bocah kecil dengan kaos biru dan celana merahnya berdiri bersandar di dinding sebuah toko sembako, di sudut pasar. “Seusia adikku”, kataku dalam hati. Dia menatap kosong ke bawah, pada sepasang sendal lusuh yang dikenakannya. Aku pikir tidak ada yang salah dengan sendalnya. “Hanya lusuh, masih bisa digunakan”, sekali lagi aku berkata dalam hati. Sesekali ia menggerakkan kakinya, menggesek-gesekkan sendalnya ke lantai. Aku melangkah lebih dekat. Kulihat seorang ibu melintas di hadapannya. Mendadak, bocah itu meraih plastik belanjaan yang sejak tadi dijinjing oleh ibu tersebut. Terkejut, seketika ibu tersebut menarik plastik belanjaannya dan menatap sinis ke arah bocah berkaos biru itu. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Mengapa bocah itu menarik plastik belanjaan itu?
Mengikuti rasa ingin tahuku, aku mendekat.  “Im, sini Im!”, suara seorang ibu paruh baya terdengar dari dalam toko memanggilnya. Seketika wajah bocah itu menjadi sumringah. Dia berlari menghampiri suara yang memanggilnya dengan begitu semangat. Tak lama, ia keluar dengan menjinjing beberapa barang belanjaan. Dia berjalan agak pontang-panting, sepertinya barang yang dibawanya cukup berat. Sejenak aku ingin membantunya, tapi pada akhirnya aku hanya memandanginya saja. Dia berhenti sejenak, melepaskan jinjingan di tangannya. Kulihat nafasnya mulai terengah-engah. Dia kembali menjinjing bawaannya menuju sebuah angkutan umum dengan setengah berlari. Lagi-lagi, aku hanya menatapnya. Ibu paruh baya tadi memberinya beberapa lembar uang seribuan. Senyum bocah itu kembali merekah. Nafasnya masih terengah-engah. Ia seperti mendapatkan kembali energinya yang habis dikurasnya beberapa menit yang lalu. Ia kembali berdiri di samping toko di sudut pasar itu sambil berusaha mengantongi uang yang diterimanya. Tangan mungil itu memijat-mijat tangan lainnya bergantian. Kurasa dia merasakan tangannya mati rasa karena barang yang dibawanya tadi sepertinya cukup berat. Setengah dari berat badannya, kurasa.
“Im, tolong kesini Im!”, kali ini si pemilik toko yang memintanya membantu membereskan toko. Bocah itu memanggul barang-barang yang sebelumnya diletakkan di luar ke dalam toko. Cukup banyak barang yang ia angkut tapi tetap terlihat begitu semangat. Kali ini, dia menerima upah yang lebih banyak dari sebelumnya dan pergi meninggalkan toko dengan wajah berseri-seri. Aku memandanginya sampai dia benar-benar hilang dari penglihatanku. Setelah ia tak lagi terlihat, aku tersadar dari lamunanku dan melihat sebagian toko di pasar itu sudah mulai ditutup oleh pemiliknya. Dan aku belum mendapatkan satupun barang yang diperlukan kelompokku! Kebetulan toko di sudut pasar itu, tempat bocah kecil dengan panggilan “Im”, yang aku tidak tahu siapa nama aslinya, mungkin Boim, Toim atau Naim, masih belum tutup. Aku segera mencari semua yang kubutuhkan. Saat aku hendak membayar semua belanjaanku, bocah itu terlintas di pikiranku. Demi memuaskan rasa ingin tahuku, aku bertanya pada si pemilik toko. Betapa terkejutnya aku mendapat jawaban dari si pemilik toko. Mataku mulai berkaca-kaca tapi aku mencoba menahan agar titik-titik kecil air mata tidak meleleh dari sudut mataku. Akan sangat memalukan jika aku harus menangis di tempat umum seperti ini. Aku meninggalkan pasar yang mulai sepi. Parkiran yang tadi kulihat hampir penuh, sekarang sudah bisa kuhitung jari.
Hari semakin sore dan jarak yang harus kutempuh masih cukup jauh. Sepanjang perjalanan, aku memikirkan bocah tadi. Betapa hebatnya dia. Bocah kecil yang tangguh. Setiap hari, sepulang sekolahnya ia berdiri disamping toko di sudut pasar itu, tanpa sedikit pun rasa malu menjadi kuli angkut di usianya yang masih sangat belia agar bisa mencukupi semua keperluan sekolahnya. Dia hanya hidup berdua dengan neneknya yang sudah tidak terlalu bugar. Aku mengingat semua yang telah kupikirkan sepulang sekolah tadi. Aku jauh lebih beruntung dibandingkan bocah itu tapi aku masih saja mengeluh! “Tidak tahu diri!”, hinaku pada diriku sendiri. Kini air mata benar-benar meleleh di pipiku. Beberapa orang melintasiku, memandangiku, tapi aku tidak peduli. Aku benar-benar menyesali perbuatanku. Tidak seharusnya aku membenci hidupku saat masih ada orang lain di luar sana yang hidupnya lebih sulit dari hidupku. Seorang anak kecil di sudut pasar telah membuka mata dan hatiku. Ayah, Ibu, maafkan aku yang terlalu banyak menuntut. Tuhan, maafkan aku karena aku kurang bersyukur atas apa yang telah Kau berikan untukku.
Aku mengingat-ingat jawaban Ibuku, yang sebelum hari ini tidak begitu aku pedulikan. Suatu saat aku pernah bertanya, ”Bu, mengapa Tuhan menciptakan Atas dan Bawah?”
“agar manusia selalu bersyukur saat melihat ke bawah dan berusaha lebih keras saat melihat ke atas”, jawabnya.

--- THE END ---

Kamis, 04 Agustus 2016

Kado Untuk Eno

Adzan Subuh belum berkumandang tapi Abah sepertinya tak bisa membiarkan cucunya tidur lebih lama. Padahal aku baru saja tidur satu jam yang lalu karena harus mengerjakan tugas kuliah Medina. Mataku masih sulit terbuka tapi semakin lama aku bangun semakin panas telingaku mendengar ketukan keras di pintu kamarku. Sedikit tidak rela, aku beranjak dari tempat tidur. Tidak sengaja kulihat kalender kecil di atas meja yang sejak 7 bulan lalu mengingatkanku hari-hari penting di hidupku. Lingkaran tinta merah pada angka 3 di sebuah kolom penuh angka yang di atasnya bertuliskan “Agustus”. “Lima hari lagi..”, gumamku. Aku masih memikirkan apa rencanaku, namun lagi-lagi Abah mengetuk pintu kamarku.
“Iyaa Baaaah, aku sudah bangun!”, jawabku. Aku bangun lebih dulu dari ayam-ayamku. Sangat luar biasa.
Aku keluar kamarku dan seperti biasa, aku melihat keluargaku sudah sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Apak sudah berangkat ke pasar, Abah sedang memberi makan ayam-ayam, Umi menyiapkan sarapan dan ketiga Adik laki-lakiku membantu Umi di dapur - lebih tepatnya, mengganggu. Si Bungsu, Arah, belum pulang dari pondok. Dia memang jarang di rumah, dia lebih sering di pondok.
“Oke! Saatnya jadi Ijah di rumah!”, pikirku. Yah, memang selalu begitu. Ketika libur, semua pekerjaan rumah menjadi tanggung jawabku. Umi memang tidak pernah meminta, tapi ini adalah bagian dari rencana hidupku sebelum akhirnya nanti seorang laki-laki menjemputku, menjadikanku makmumnya dan membawaku pergi dari Umi. Melelahkan! Memang. Tapi tidak seberapa dibandingkan dengan yang sudah dilakukan Umi puluhan tahun.
Kasur, hal yang begitu kurindukan hari ini. Kubaringkan tubuh ini yang terlihat semakin menciut - aku memang lebih kurus belakangan ini. Aku kembali teringat pada angka 3 di bulan “Agustus”. Ulang tahun Eno, sahabatku yang kini berada jauh dariku. Ini tahun ke-2 aku tidak bertemu dengannya. Apa yang bisa kuberikan dengan jarak yang cukup jauh ini? Jelas tidak mungkin aku bisa memberikannya kue tart dengan beberapa lilin di atasnya. Kondisinya sangat tidak memungkinkan. Kue itu mungkin akan jadi bubur cokelat saat Eno menerimanya.
Jarum pendek pada jam tepat berada di atas angka empat. Aku sudah rapi, tidak seperti biasanya. Sudah kuduga, pasti ketidak-biasaan ini akan menjadi sebuah pertanyaan besar bagi Umi, Apak, Abah dan keempat adikku. Padahal, aku pasti minta tolong adikku untuk mengantarkan aku ke swalayan dan mereka juga akan tahu kemana tujuanku pada akhirnya. Tapi begitulah keluargaku, aku yakin mereka akan sukses jika menjadi paparazzi.
Di kepalaku sudah terbayang apa saja yang akan aku beli. Eno suka dengan warna biru. Ia juga tergila-gila dengan Doraemon. Tapi jangan harap aku akan memberinya sebuah boneka Doraemon atau sebuah pin, gantungan kunci, gelas, atau apapun yang berhubungan dengan Doraemon! Bukannya aku jahat dan menjadi sahabat yang payah, tapi menurutku semua itu tidak ada gunanya!
Aku mendapatkan apa yang kucari. Sebuah jas hujan, tempat air minum dan tempat sampah berukuran kecil yang jelas semuanya berwarna biru. Memang bukan kado ulang tahun yang diharapkan, tapi aku tahu dia membutuhkannya. Saat ini musim hujan dan aku sangat paham Eno tidak pernah menyimpan jas hujan di bawah jok motornya. Dia juga jarang sekali minum di kantor. Aku ingat dulu dia lebih sering minum di mejaku, mungkin dia bisa lebih banyak minum jika di mejanya ada tempat air minum. Dan tempat sampah? Aku juga ingat di kamar Eno, aku tidak menemukan tempat sampah. Kertas-kertas tidak terpakai berhamburan memenuhi meja belajarnya. Aku tau kita sudah berpisah cukup lama tapi aku yakin dia masih seperti dulu dan aku masih selalu mengingatkannya walau hanya melalui pesan singkat.
Selesai! Semuanya terbungkus rapi dalam satu kardus dengan kertas kado yang juga berwarna biru. Tapi ada satu hal yang menurutku masih kurang. Oh! Aku lupa menuliskan pesanku di kertas ucapan! Kertas ucapan? Terlalu pendek. Bagaimana jika surat? Yah, surat sepertinya lebih baik. Aku bisa bercerita panjang lebar, walaupun aku tahu Eno tidak terlalu suka membaca seperti aku.
Aku mencakar-cakar tumpukan buku di mejaku. Aku mencari kertas binder berwarna biru. Aku tak punya satu pun kertas biru, semuanya putih polos. Aku ingat, sepertinya adik bungsuku meniru hobiku saat aku masih duduk di bangku SMP, mengoleksi kertas binder dengan berbagai warna dan motif. Aku pikir aku bisa memintanya. Tunggu, meminta? Sepertinya dia tidak akan dengan senang hati memberikannya, tidak tanpa imbalan yang jauh lebih mahal dari harga kertas itu. Baiklah! Aku akan mengambil kertas itu tanpa sepengetahuannya. Mencuri? Bukan! Hanya menggunakannya lebih dulu, aku akan memberitahukannya setelah aku selesai.
Aku mendapatkan kertasnya. Tapi apa yang harus kutulis? Menanyakan kabar? Dari tulisan-tulisan di media sosialnya, sepertinya Eno baik-baik saja. Setidaknya aku harap begitu. Hanya saja, dia terlihat sedang patah hati mungkin? Baiklah! Aku putuskan untuk menuliskan beberapa kalimat untuk membantu Eno melalui sakitnya patah hati, walaupun sebenarnya aku sendiri tidak begitu beruntung dalam urusan percintaan. Mungkin aku juga akan menambahkan beberapa kata lain yang tidak ada hubungannya dengan percintaan.
Baiklah, kira-kira ini yang akan aku tulis dalam surat itu.




Dear, Sahabat yang kuanggap saudaraku, Eno,
Apa kabar kerang hijau dan es ketan durian? Apa kabar danau yang menjadi tempat favorit kita di Harapan Indah? Apa kabar hamparan rumput hijau di pekarangan bebek kaleyo? Apa kabar Marakas malam minggu ini? Tapi yang lebih penting apa kabar hatimu?  Tak perlu kau menjawab aku sudah tahu jawabannya. Kau memang terlalu pandai menyembunyikan setiap luka dibalik senyummu dan berkata semuanya baik-baik saja. Kamu mungkin bisa mengelabui banyak orang tapi tidak padaku. Aku terlalu hafal setiap lorong hatimu! Jarak memang membuat kita tak lagi seperti dulu, ketika kita selalu menghabiskan waktu bersama. Yah, tiada hari tanpa kita lalui berdua, bukan? Seharian dihadapkan dengan tumpukan kertas dan layar bertabel yang membuat kita selalu hampir gila di setiap akhir bulan, omelan nenek lampir lewat telepon yang kadang membuat kita terlihat seperti dukun yang membaca mantra, komat kamit tanpa arti. Semua masih tersusun rapi di otakku saat kita panen coklat dari para karyawan yang sekedar meminta tolong dibuatkan surat keterangan, mencari sasaran yang bisa kita palak saat istirahat sampai jegat kak Doni dan bu Wiwi agar bisa dapat beberapa kantong jajanan dan gelang imitasi, yang sampai saat ini masih sering ku pakai. Terdengar terlalu jahat, tapi kita memang jahat. Pada diri sendiripun kita jahat, membiarkan hati kita kosong hingga berdebu dan dipenuhi jaring-jaring  tanpa sosok pangeran berkuda putih di dalamnya. Tapi aku pikir sosok pangeran itu tidak terlalu penting ketika masih bersamamu. Aku terlalu bahagia. Aku benar-benar merindukan hal itu, terutama senyummu. Senyum tanpa kepura-puraan.
Lalu sekarang siapa yang menghabiskan malam minggu mengelilingi Marakas? Siapa lawanmu menghabiskan kebab dengan ukuran XL? Siapa yang menemanimu mengantri di gerobak Pak Le bakso atau berdesak-desakan di warteg embak  Desi agar bisa menikmati makan siang dengan menu sayur bening dengan ikan asin balado yang rasanya begitu nikmat? Semoga dia lebih menyenangkan dariku karena yang paling penting, kamu bahagia. Aku hampir lupa surat ini tadinya untuk menulis ucapan dan permohonanku di usiamu yang semakin tua. Selamat hari lahir teman terbaikku. Semoga semua hal terbaik selalu bersamamu, semoga bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dan semoga kamu bisa mendapatkan apa yang kamu harpkan dan doakan selama ini. Maaf mungkin isi dari kotak yang terbungkus ini bukan seperti apa yang kamu harapkan tapi aku yakin kamu memerlukannya.
Aku memang bukan ahlinya dalam hal percintaan. Tapi satu hal yang aku tahu, rasa sakit itu, patah hati itu, adalah proses. Proses bagi masing-masing pasangan untuk belajar jadi lebih baik. Atau, mungkin malah proses untuk menemukan yang lebih baik. Intinya, beruntunglah orang-orang yang merasakan sakit hati dan bangkit setelahnya, karena artinya mereka sedang dalam proses memperbaiki hidup mereka, lebih cepat dari orang-orang yang tidak sedang sakit hati.
Satu pintaku, kembalikan senyummu yang dulu. Ingatlah dia yang baik untuk yang baik pula. Kamu gadis yang baik, aku yakin akan mendapat calon Imam yang baik pula. Kita hanya perlu menunggu sambil memperbaiki diri. Sudah ya, aku pikir ini terlalu panjang untuk sebuah surat. Aku selalu merindukanmu.
Sahabatmu, penuh cinta,
Nita

Selesai! Kulipat surat ini dan kumasukkan ke dalam amplop yang kubuat sendiri dari kertas yang sama. Yang perlu aku lakukan sekarang adalah meletakkan surat ini dengan rapi. Besok aku akan mengirimnya saat jam istirahat kerja. Semoga bisa sampai tepat waktu seperti perhitunganku. Aku tidak tahu apa Eno mau membaca suratku sampai habis atau tidak, surat ini terlalu panjang. Mungkin dia hanya akan melemparkan surat ini ke meja kerjanya. Aku mengakhiri hari ini dengan berharap, bahwa meskipun surat ini nantinya hanya akan berakhir di dasar tempat sampah tapi isi dan pesannya yang menunjukkan perhatianku berakhir di dasar hati Eno.

                     --- THE END ---

Dandelion senja


Die, malaikatku



Tuhan menjawab beberapa doaku meskipun dosa yang ku timbun semakin menggunung. Aku pikir aku adalah orang yang beruntung, lagi-lagi. Tiba-tiba tuhan mengirimnya, dari mana dia? Utara? Selatan? Timur? Barat? Atau mungkin Tenggara? Entahlah darimanapun dia tapi aku menyebutnya malaikat. Suaranya begitu indah, menenangkan. Wujudnya aku tak pernah tau. Sepintas mungkin terlihat. Dia bersayap atau tidak, hitam atau putih, besar atau kecil itu tak penting bahkan baik atau burukpun dia tetap malaikat bagiku. Kehadirannya mungkin lebih kusadari dibanding ke dua malaikat yang selalu menemaniku sejak masa balighku. Dia datang ketika aku benar-benar rapuh dan terpuruk. Namanya Die. Aku mengenalnya tanpa sengaja di salah satu akun sosial mediaku dan kami semakin dekat karena spasi meskipun tanpa jabatan tangan atau saling tatap muka. Entah apa yang membuatku begitu nyaman dengannya padahal sebelumnya tak pernah seperti ini. Ini bukan diriku! Bukan aku! Bahkan aku tak percaya! Tapi inilah adanya. Aku benar-benar tak mampu menguasai diriku sendiri.  
Die berhasil membuatku melanggar aturan yang ku buat sendiri untuk tidak lagi membuka pintu hatiku selain kepada seseorang yang datang bertemu waliku untuk menghalalkanku. Aku seperti sudah tak memperdulikan hal itu saat ini.
Malam Kamis, mungkin terlalu horor menceritakan semua yang ku alami pada Die lewat udara, dengan ketikan di tochscreen layar ponselku. Tapi tak lebih horor dari seribu malam sebelumnya ketika aku membungkus kotak hitam dengan beberapa perekat diatasnya dan menguburnya dalam-dalam. Aku menyebut kotak hitam itu masa lalu. Meskipun tak bisa ku pungkiri kotak hitam itu sering kali melintasi pusat sistem syarafku membuatku tiba-tiba tersungkur meskipun jalan yang kulalui tidaklah terjal. Sebisa mungkin aku berusaha untuk melupakannya, tapi malam ini kotak hitam yang sudah lama tertimbun di otakku kembali ku gali. Entah energi apa yang ku serap dari Die yang membuatku tiba-tiba membuka semua perekat yang sengaja ku balut pada kotak hitam itu dan secara otomatis otak besarku memutar kembali cuplikan-cuplikan yang cukup menyakitkan batinku. Aku tak habis pikir, kotak hitam itu selama ini tak pernah ku ungkap pada siapapun bahkan orang terdekatku sekalipun. Bagaimana bisa ku hidangkan padanya? pada Die yang belum pernah ku jumpai? Tapi Die menyambutnya dengan senyum yang begitu manis padahal dia tau itu adalah hal yang teramat pahit. Die menghempaskan semua bagian dari yang kusebut masa lalu itu jauh dari hidupku. Sakit! Tentu. Mungkin air matapun tak kan mampu menjelaskannya. Maaf mungkin aku terlalu cengeng tapi aku janji akan lebih kuat lagi.
Aku hanyalah dandelion, makhluk rapuh yang selalu berpura-pura begitu kuat. Aku tak secantik mawar, seharum melati apalagi semahal anggrek tak akan ada yang mau melirikku, kecuali Die. Die seperti angin bagiku, bagi dandelion. Die membelaiku lembut dan membawaku melintasi angkasa. Kau tau seperti apa ketika dandelion tertiup angin? Dan dia membuatku tumbuh kembali ditempat dia menepikanku. Die menyelamatkan hidupku. Aku benar-benar merasa lahir kembali, tanpa beban yang kurasa sangat berat di setiap langkahku sebelumnya. Nafasku terasa lebih ringan. Aku bebas. Aku bebas dari masa lalu yang menjadi mimpi buruk disetiap siang dan malamku yang seharusnya tak pernah terjadi. Meskipun tidak benar-benar hilang dari hidupku tapi setidaknya kotak hitam itu tidak lagi merongrongku seperti dulu.
Entah bagaimana ceritanya! Aku bicara dia mendengar, dia bicara aku menangis, lalu kami tertawa. Konyol, yah memang konyol. Kekonyolan yang membuatku lupa akan gelap malam. Benar-benar malam yang membingungkan! Mungkin karena tanpa cahaya bulan malam ini. Tapi hadirnya Die seperti cukup menggantikannya, meskipun hanya di sosial media. Die membuat hari yang ku lalui menjadi semakin bermakna. Lebih terang walaupun samar. Hitam, putih, abu-abu setidaknya tidak lagi hanya hitam karena aku tak pernah tau apa yang akan terjadi setelah ini. Meskipun Die bilang kalau kita bisa membentuk masa depan, tapi hasil akhir adalah rahasia sang Maha Kuasa. Bagaimana aku membalas kebaikan Die? Aku tak kaya ilmu, apalagi harta. Tapi aku akan berusaha melakukan apapun yang Die minta sebagai balas budiku padanya. Selama itu tidak membuat malaikat Atid menambah catatanku dengan tinta merahnya.
Tuhan aku tak akan meminta lebih karena aku tahu kau tidak menciptakan Die seperti Rakib dan Atid yang selalu bersamaku hingga ajal menjemputku. Jika nanti Die memutuskan pergi dariku aku tak akan menahannya karena setiap yang datang kau ciptakan untuk pergi hanya saja waktu yang merahasiakannya. Tugas ku hanya menjaga dan menikmati setiap rasa yang dia hadirkan sebelum akhirnya waktu menjemputnya. Aku sangat bersyukur Engkau telah mengirim Die, karena dia benar-benar meringankan beban di otakku membuatku bisa tertawa lebih lepas dan menangis lebih sendu. Namun dibalik semua itu tak bisa ku elakkan bahwa akupun berharap dia tetap tinggal menemani setiap sisa hariku. Tapi akupun sadar sosok malaikat tak pernah nyata, begitupun Die yang ku anggap malaikatku. Tapi sampai detik ini aku bahagia mengenalnya meskipun belum menjadi nyata.